Tidak ada yang memungkiri komunikasi dalam kehidupan social kita,
karena komunikasi adalah pengungkapan apa yang ada di hati kita.Berbicara
tentang komunikasi, ada cerita menarik yang sebaiknya kita simak baik-baik.
Seorang psikiater mewawancarai pasiennya dalam satu session terapi. Pasien itu
berkata, “Suami saya baik sekali. Bila kami bertengkar dan ia salah, ia
cepat-cepat mengakui kesalahannya dan meminta maaf.” “Bagaimana kalau Nyonya
yang salah?” tanya psikiater. Pasien itu menjawab, “Saya salah? O, itu tidak
mungkin terjadi, Dokter.” Pasien ini memang sakit jiwa. Tetapi, kata Jalaluddin
Rakhmat, MSc., betapa sering kita pun menirunya. Kita jarang meneliti kembali
persepsi kita. Padahal persepsi yang tidak cermat dapat mengakibatkan berbagai
bentuk distorsi kognitif -satu istilah yang muluk-muluk untuk maksud sederhana,
bahwa anggapan kita, perasaan kita, dan tindakan kita menjadi kacau dan tidak
akurat karena kita telah memiliki praduga yang keliru sebelumnya. Karena kita
mengalami distorsi kognitif, ucapan orang lain kita tangkap secara salah. Ia
memaksudkan A, kita menangkapnya B, atau bahkan kita tidak mau menerima bahwa
apa yang dikatakannya adalah A hanya karena kita telah terlanjur menganggap
tidak mungkin itu terjadi. Dari bangun tidur di pagi hari hingga berbaring
kembali menjelang tengah malam, 70% waktu bangun kita gunakan untuk
berkomunikasi. Begitu sebuah penelitian mengungkapkan. Ini berarti, kualitas
hidup kita banyak ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama;
antara suami dan istri, orangtua dan anak, tetangga dengan tetangga lainnya,
dan begitu seterusnya kalau dipanjangkan terus.
Singkatnya, hidup
kita ini ternyata banyak sekali ditentukan oleh bagaimana kita menggunakan
mulut kita. Alhasil, urusan mulut banyak memberi andil dalam perjalanan kita
menempuh kehidupan. Pertama, bagaimana kita menangkap komunikasi orang lain. Kedua,
bagaimana kita mengkomunikasikan apa yang ingin kita nyatakan, apa yang kita
rasakan, ataupun apa yang tidak kita inginkan. James O. Prochaska dan Carlo. C.
DiClemente, peneliti di Texas Research Institute of Mental Sciences (TRIMS)
pernah menulis sebuah buku berjudul The Transtheoretical Approach, Crossing
Traditional Boundaries of Therapy (1984). Salah satu bab dalam buku tersebut
membahas problem-problem perkawinan dan perceraian. Kata Prochaska dan
Di-Clemente, sebagian terbesar ketidakpuasan perkawinan ternyata bersumber dari
masalah komunikasi. Masalah komunikasilah yang paling banyak menyebabkan
suami-istri bertengkar. Juga masalah komunikasi sering menjadi sebab paling
pokok, dan repotnya justru sering tidak tampak, pada banyak kasus perceraian.
Demikian juga, kejadian-kejadian mental yang buruk dan menyedihkan setelah
perceraian, banyak diakibatkan oleh komunikasi, terutama jika kedua pihak
saling menyalahkan. Mereka puas, akan tetapi anak-anak kehilangan kepercayaan
kepada kedua orangtua. Saling menyalahkan satu sama lain bukan monopoli mereka
yang telah bercerai. Suami-istri yang belum lama menikah dan masih terikat
dalam pernikahan, sering melakukan hal yang sama. Mereka mudah menyalahkan jika
teman hidupnya melakukan sesuatu secara kurang pas menurut ukurannya (meskipun
secara objektif apa yang dilakukan tidak salah). Sikap mudah menyalahkan teman
hidup (blaming partner) inilah yang menurut Prochaska dan DiClemente dapat
menyebabkan kegagalan komunikasi. Tentang kegagalan komunikasi ini, mari kita
minta kembali Jalaluddin Rakhmat, MSc. untuk menjelaskan. Persepsi orang sering tidak cermat, kata Kang
Jalal. Bila kedua pihak menanggapi yang lain secara tidak cermat, terjadilah
kegagalan komunikasi (communication breakdowns). Anda menduga istri Anda tidak
setia, dan istri Anda menduga Anda sudah bosan kepadanya. Komunikasi di antara
Anda berdua akan mengalami kegagalan, karena Anda berdua menafsirkan pernyataan
orang lain dengan kerangka tadi. Katakanlah, kata Kang Jalal lebih lanjut, Anda
pulang terlambat dari kantor. Istri Anda kelihatan menyambut Anda dengan
gembira. Ia mengungkapkan betapa senangnya Anda pulang setelah cemas menunggu.
Karena persepsi di atas, Anda menganggap ucapan istri Anda hanya kamuflase dari
ketidaksetiaannya. Dengan suara keras, Anda menanggapi istri Anda, “Ah, bilang
saja, kamu tidak senang aku pulang cepat.” Istri Anda pasti terkejut dan
menduga Anda mencari garagara untuk menceraikannya. Anda dapat membayangkan apa
yang terjadi selanjutnya, demikian tutur Kang Jalal di buku Psikologi
Komunikasi (2000). Sementara Anda membayangkan apa yang terjadi selanjutnya,
mari kita runut bagaimana kegagalan komunikasi terjadi. Sebelum menjadi konflik
terbuka, awalnya
adalah persepsi yang tidak cermat. Persepsi ini tidak
dibetulkan, tidak dikoreksi, sehingga kita percaya bahwa persepsi kita benar.
Kita meyakini persepsi kita. Pada tingkat tertentu, keyakinan kita bisa
mencapai keadaan persisten alias tetap dan tidak bisa diubah-ubah. Jika
keadaannya demikian, diberi informasi seobjektif apa pun, dipaparkan segamblang
apa pun dan diyakinkan dengan bukti sekuat apa pun tak akan mengubah keyakinan.
Kamu beritahu atau tidak, sama saja keadaan hatinya. Munculnya persistensi ini
bisa melalui beberapa jalan. Pertama, dari kebiasaan buruk dalam keluarga
berupa kesukaan membicarakan keburukan orang lain, lebihlebih jika sampai
tingkat tajassus (selengkapnya baca bab Keasyikan yang Menghancurkan Keluarga).
Kedua, adanya salah persepsi yang tidak diluruskan, tetapi justru dikuatkan
dengan mencari-cari kesalahan. Ketiga, sikap saling menyalahkan yang tetap
dipertahankan.
Pembicaraan tentang
persistensi anggapan kita cukupkan sampai di sini. Selanjutnya kita akan
memusatkan pembicaraan ke masalah komunikasi kursif, satu bentuk komunikasi
yang paling sering menyebabkan perpecahan keluarga. Komunikasi kursif (coercive
comunication) adalah bentuk hubungan dua orang atau lebih yang menyampaikan
pesan dengan efek memaksa pada orang yang menerima pesan. Komunikasi kursif
adakalanya merupakan cara yang secara sadar dipilih orang untuk memenangkan
pendapatnya. Akan tetapi, amat sering orang melakukan komunikasi kursif tanpa
menyadari bahwa ia telah melakukan komunikasi dengan efek memaksa yang amat
kuat. Komunikasi persuasif cenderung membuat orang yang mendengar pesan
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak orang yang mengkomunikasikan
(komunikator). Meskipun demikian, ada perbedaan mendasar antara komunikasi
persuasif dengan komunikasi kursif. Bagi Anda yang ingin mendalami lebih jauh
mengenai hal ini bisa membaca buku yang secara khusus membahas komunikasi.
Sekarang bukan saat yang tepat untuk membahasnya berpanjang-panjang mengingat
terbatasnya ruang. Cukuplah kita mengingat tulisan James O. Prochaska dan Carlo
C. DiClemente. Mereka mengatakan, “Kepercayaan yang baik menjadi rusak manakala
proses perubahan biasa berlangsung secara kursif untuk saling memaksa
masingmasing pihak berubah.” Mengingat banyak orang melakukan komunikasi kursif
tanpa sadar telah melakukan, saya ingin mengajak Anda untuk menengok ciri-ciri
komunikasi kursif. Penjelasan berikut ini mudah-mudahan bisa memberi gambaran
yang gamblang. Dalam komunikasi kursif, ada beberapa ciri. Selengkapnya, inilah
tanda-tanda komunikasi kursif:
a.
Selalu menyalahkan
b.
Tidak pernah menerima
kritik
c.
Tidak mencari solusi
d.
Tidak memahami akar masalah
Demikianlah, tidak akan mungkin ada kerukuna n tanpa
komunikasi…Wallahu A’lam